Oleh: Saharuddin
(Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbudristek)
Era transisi pendidikan Indonesia tengah bergulir, ditandai dengan implementasi Kurikulum Merdeka dan Program Sekolah Penggerak (PSP) lebih dari setahun terakhir. Ini adalah masa-masa sulit dan kritis yang akan menjembatani arah pendidikan kita hari ini (current) ke arah pendidikan masa depan (future). Pada fase ini sejumlah kendala hingga resistensi dipastikan akan mengemuka yang jika tidak dikelola dengan baik akan menghambat jalannya transformasi, juga menghadirkan situasi penuh polemik dan kontraproduktif.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI nampaknya cukup serius dalam melakukan transformasi mendasar. Kurikulum Merdeka yang awalnya diprediksi merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2013 (Kurtilas) dan kelanjutan dari kurikulum darurat masa pandemi nyatanya menampakkan wajah yang lebih kompleks. Banyak kalangan yang kaget akan perubahan kurikulum yang bisa dibilang tiba-tiba ini, tak sedikit pula yang ketar-ketir meskipun belum diterapkan secara nasional. Isu segera menyebar dan ‘asap kepanikan’ segera merebak kalangan pendidik di Indonesia.
Meskipun pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek RI telah menyiapkan sejumlah program pengaman agar transformasi ini berjalan dengan baik, kenyataannya kondisi di lapangan tetap ‘bergolak’. Nada-nada pesimis dan kebingungan ramai terdengar, beberapa bahkan skeptis, tak percaya bahwa kurikulum baru ini akan membawa perubahan yang signifikan atas kondisi pendidikan di Indonesia, juga keraguan bahwa bentuk kurikulum baru ini memungkinkan untuk diterapkan.