Striker 32 tahun asal Guinea-Bissau itu benar-benar melihat bagaimana orang akhirnya meninggal di depan mata sendiri.
“Ini adalah derbi yang sudah lama, dan selama seminggu sudah terasa di seluruh kota bahwa itu adalah pertandingan dengan lebih dari tiga poin,” kata Camara.
“Mereka bilang ini adalah pertandingan hidup dan mati, bahwa kami bisa kalah di setiap pertandingan kecuali yang ini,” katanya lagi.
Usai kekalahan 2-3 dari Persebaya, Camara menceritakan, para pemain Arema pergi untuk meminta maaf kepada para penggemar.
“Mereka mulai memanjat pagar, pembatas, lalu kami pergi ke ruang ganti,” lanjutnya.
“Sejak saat itu kami mulai mendengar teriakan, tembakan, orang saling dorong.”
“Kami menampung orang-orang di dalam ruang ganti yang terkena gas air mata, dan meninggal tepat di depan kami.”
“Kami memiliki sekitar tujuh atau delapan orang yang akhirnya meninggal di ruang ganti,” paparnya.
Pemain Arema ini mengakui bahwa dirinya benar-benar terguncang dengan meninggalnya tujuh atau delapan Aremania tepat di depan matanya di ruang ganti pemain.
Kesaksian Aremania dan pemain Arema ini cukup mengagetkan betapa murahnya harga manusia dalam tragedi Kanjuruhan Malang itu. (pojoksatu/fajar)