Jadi Presiden itu tidak boleh dikatakan petugas partai karena ia kepala negara. Sebagai kepala negara berdasarkan preseden hukum, ia bisa membubarkan partai politik.
Meskipun undang-undang dasar tidak memberikan kewenangan, tetapi preseden hukum yang pernah dilakukan Soekarno itu membubarkan parpol.
"Dia harus mengayomi semua golongan, semua partai dan dalam kebijakannya harus menguntungkan semua pihak," tegas guru besar Unhas itu.
Apa yang membuat Jokowi cawe-cawe? Menurut Armin, karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu berharap apa yang ia lakukan saat ini bisa dilanjutkan presiden yang akan datang.
Padahal tidak semua yang dilakukan Jokowi menurut presiden terpilih yang akan datang itu baik untuk seluruh rakyat.
"Seharusnya, semua hal yang baik di masa Jokowi dilanjutkan dan semua masa yang baik di masa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dilanjutkan, semua yang baik di masa Soeharto dilanjutkan, semua yang baik di masa Soekarno dilanjutkan, tapi semua yang tidak baik ditinggalkan," jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum Unhas Fajlurrahman Jurdi juga mengkritik cawe-cawe politik Jokowi. Dia mengatakan, dari sisi kepala negara itu sudah tidak benar pernyataan itu.
"Kedua, kita berharap presiden itu husnul khotimah, tidak su'ul khotimah. Kalimat itu, seharusnya ia tidak ucapkan di publik karena itu kalimat politik," katanya.
Jadi menurut pengamat Hukum Tata Negara itu, cawe-cawe politik Jokowi ini bisa memperburuk suasana politik. Sebab politik sudah terbelah, kemudian presiden menunjukkan sikap tidak netral.