“Syarat minimum jarak tersebut ditentukan dengan memperhatikan potensi risiko yang diakibatkan dari aktivitas yang dilakukan oleh Depo Pertamina yang berpotensi membahayakan lingkungan sekitar,” tutur Rizal.
Dikatakan, jarak minimum yang tidak sesuai standar berisiko menimbulkan gangguan kesehatan seperti gangguan pernafasan, pusing, dan hilang kesadaran yang merupakan dampak dari paparan uap yang mengandung senyawa kimia berbahaya bagi tubuh.
Selain itu, ketidaksesuaian jarak minimum menunjukkan ketidakmampuan Pertamina dalam memenuhi studi kelayakan lingkungan. Emisi yang dihasilkan dari aktivitas Depo mengganggu kualitas udara di lingkungan sekitar.
Berdasarkan survei yang dilakukan Polinet di Kecamatan Ujung Tanah, ditemukan adanya pencemaran udara di sekitar depo Pertamina.
Hal ini ditandai dengan adanya bau gas dengan kombinasi cuaca panas mengakibatkan masyarakat banyak masyarakat yang mengalami flu, pusing dan bahkan sesak napas.
Selain itu menandakan bahwa adanya pengelolaan limbah yang kurang baik pada Depo Pertamina.
Berdasarkan hasil analisis perspektif publik terkait dampak lingkungan Depo Pertamina Makassar, Menunjukkan 69,23% menyatakan bahwa keberadaan depo Pertamina mencemari udara, sementara hanya 30,77% yang menganggap tidak mencemari udara.
“Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas stakeholder menggap adanya pencemaran udara. Belum lagi jika ditinjau dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Rizal.
Ditegaskan, pemenuhan HAM yang dilakukan Pertamina, harus menjamin pemenuhan hak-hak mendasar dan tidak mengganggu hak-hak warga negara.