Selain itu, survei ini juga bukanlah sekadar persepsi semata, tetapi berdasarkan pengalaman nyata selama tiga tahun terakhir. Artinya, masyarakat pengguna jasa/layanan publik akan menjadi sampling responden survei.
Pahala mengungkapkan bahwa saat ini masih banyak masyarakat pengguna layanan yang belum berpartisipasi dalam survei ini. Ia berpendapat bahwa salah satu masalah yang mungkin menjadi hambatan adalah kekhawatiran akan kerahasiaan data.
“Meskipun survei ini bersifat sukarela, KPK bertanggung jawab untuk menjamin kerahasiaan data yang diberikan oleh responden. KPK pun menyadari ada beberapa kementerian yang mengumpulkan responden dan memanipulasi data survei untuk mendapatkan skor yang tinggi,” papar dia.
Menurutnya, tujuan dari survei ini adalah untuk mengukur keberhasilan pencegahan korupsi, bukan hanya untuk KPK, tetapi juga untuk semua lembaga terkait. Survei ini juga dapat mengidentifikasi di mana terdapat kekurangan dan masih ada aspek mana yang perlu ditingkatkan.
Dia pun memberikan gambaran pada 2021-2022, terjadi penurunan dalam hasil survei dengan hampir semua elemen yang diukur mengalami penurunan.
“Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, namun setidaknya dengan adanya alat ukur yang tersedia, KPK dapat melihat gambaran yang lebih jelas mengenai kekurangan tersebut sehingga dapat dilakukan perbaikan,” ucapnya.
Sejatinya, Pahala memaparkan, sejak 2006 KPK telah melakukan survei berskala nasional dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Seiring dengan kebutuhan yang semakin kompleks, pada 2020 KPK memutuskan untuk melakukan survei secara menyeluruh di seluruh lembaga pemerintah yang menggunakan dana negara.