Oleh: Adi Wijaya
(Alumni Magister Ilmu Komunikasi Unhas, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam STIBA Arrayah)
Keberagamaan, di satu sisi bisa menjadi api dalam sekam. Membakar diam-diam dan menghanguskan tanpa disadari. Di lain sisi keberagaman bagaikan pelangi. Justru karena berbeda-beda, ia terlihat indah. Bayangkan kalau pelangi itu hanya satu warna, pasti kurang cantiknya.
Agar keberagaman tidak menjadi api dalam sekam, melainkan menjadi pelangi yang indah, maka perlu ada saling memahami dalam kebhinekaan. Bhineka tunggal ika, yang menjadi semboyan kita, tidak mungkin bisa ada tanpa sikap saling mengerti. Sikap saling memahami dan saling mengerti itu, kita himpun dalam satu istilah: Toleransi.
Toleransi di Warung Kopi
Jika ingin memaknai toleransi dengan cara yang sederhana, amatilah pengunjung warung kopi. Di sana ada penawaran menu yang beragam. Namanya memang “Warung Kopi” tetapi tetap sedia menyajikan minuman yang bukan kopi, susu atau teh misalnya.
Penikmat kopi dan peminum teh tidak pernah saling berselisih. Tidak pernah saling merendahkan. Penikmat kopi tetap asyik menyeruput kopinya. Tanpa harus memaksa peminum teh untuk berubah menjadi peminum kopi. Penikmat kopi juga tidak pernah merasa risih ketika peminum teh enggan mencicipi kopinya. Karena dia tahu, pahitnya kopi tidak cocok dengan lidah pecinta manisnya teh.
Kalaupun nanti terjadi dialog antara penyeruput kopi dan peminum teh, masing-masing menceritakan tentang keunggulan minuman pilihannya, itu hal yang biasa. Lakukan saja dengan kekuatan argumentasi namun tetap elegan. Jika nanti ada yang berubah pikiran dan berganti menu minuman, itu konsekuensi dari sebuah dialektika pemikiran.