Inilah makna sederhana dari toleransi. Jadi toleransi bukan berarti meleburkan diri pada prinsip yang sebenarnya tidak kita yakini. Toleransi adalah tetap teguh pada keyakinan sendiri, sembari menjunjung tinggi nilai dan fakta pluralitas. Bahwa ada banyak keyakinan, yang berbeda dengan keyakinan yang dimiliki, dan tetap wajib dihormati.
Pemaknaan yang salah terhadap toleransi inilah yang mencederai persatuan. Atas nama toleransi akhirnya membenarkan pemaksaan pada yang berbeda untuk menjadi sama. Mungkin pada akhirnya kita terlihat satu warna. Sepertinya bersatu, namun di atas pondasi yang rapuh.
Islam: Menakar Toleransi dalam Dosis yang Tepat
Dunia punya banyak cerita indah tentang kemampuan bersatu dalam keberagaman. Cerita indah itu banyak ditemukan bertabur pada sejarah panjang peradaban Islam. Islam telah memberikan tuntunan bagaimana menakar toleransi itu pada dosis yang tepat. Agar keragaman bisa menjadi kekuatan. Bukan sumber pertikaian.
Rasulullah datang bukan dengan misi membuat dunia menjadi satu warna, satu agama. Sampai kapanpun pluralitas keyakinan adalah sunnatullah. Dakwah Rasulullah menjunjung semangat “Laaiqraha fiddin” tidak ada paksaan dalam beragama.
Rasulullah diutus pada model masyarakat yang berbhineka, punya banyak keragaman. Masyarakat Madinah contohnya. Satu model masyarakat ideal yang langsung dibimbing oleh Rasulullah. Apakah masyarakat Madinah itu satu warna? Ternyata tidak. Kalau dikatakan dominan “berwarna” Islam, memang benar. Namun entitas lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, juga ada di dalamnya. Hak hidupnya dijamin langsung oleh Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara. Mereka dikategorikan sebagai kafir dzimmi. Orang kafir yang hidup dalam kekuasaan Islam yang tetap harus dijamin haknya dan dijaga kehomatannya.