Meskipun di Madinah waktu itu, Islam menjadi agama yang dominan dan punya kekuatan, bukan alasan untuk bertindak sewenang-wenang. Kita bisa baca kembali, bagiamana sejarah Piagam Madinah. Piagam toleransi yang bisa menyatukan umat manusia dan tetap pada keberagamannya. Di dalam Piagam Madinah, Rasulullah menjamin hak orang Madinah. Tidak perduli dia muslim maupun non-muslim.
Dalam suasana perang sekalipun, toleransi tetap dijunjung tinggi. Rasulullah tetap memperlakukan dengan manusiawi tawanan perang yang non-muslim. Padahal kalau mau dipikir, mereka adalah orang berbeda akidah yang sebelumnya melakukan perlawanan. Bahkan Rasulullah pernah membebaskan tawanan perang dengan tebusan mengajarkan baca dan tulis kepada anak-anak di Madinah.
Inilah takaran toleransi yang tepat antar umat beragama. Laiqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam beragama. Namun perlu diingat, toleransi adalah membiarkan bukan justru mencampur adukkan keragaman yang sifatnya prinsipil. Untuk urusan antar umat beragama, ambillah prinsip “Lakum dinukum waliadin” untukmu agamamu dan untukku agamaku. Kita punya keyakinan teologis yang berbeda dan mari jalani masing-masing.
Toleransi itu dibutuhkan bukan hanya antar umat berbeda agama. Juga harus tercermin antar internal umat yang memiliki keyakinan yang sama. Karena di dalam internal umat juga terdapat banyak keragaman. Dan kaidahnya juga sama, jika keragaman itu tidak diatur dengan bijak, alih-alih menjadi pelangi, justru akan menjadi api dalam sekam.
Telah terjadi dalam tubuh umat Islam, konflik internal akibat keragaman ijtihad fiqih. Hanya lantaran berbeda persoalan qunut subuh, persatuan pun tercederai. Dua entitas muslim tidak bisa bersatu hanya karena berbeda mazhab fiqih. Merasa kalau mazhabnya saja yang selamat dan yang lain sesat.