Jadi, sambung Ahmad, barang itu harus jelas identitasnya sebagai barang. Jika dalam dakwaan disebut nilai kerugiannya, maka konsekuensinya harus ada pembuktian mengenai nilai kerugian tersebut.
"Misalnya, tiap-tiap barangnya itu disebutkan dalam dakwaan, kemudian total nilai kerugiannya 1 milyar, maka 1 milyar itu tentu harus dibuktikan. Akan tetapi, kalau hanya menyebutkan barangnya saja, berarti barang-barangnya itu harus dibuktikan keberadaannya," beber Ahmad.
Selain itu, Ahmad juga menyinggung tentang adanya prejudicieel geschil. Menurut ahli, prejudicial geschil diatur dalam Pasal 81 KUHP. Istilah tersebut mengandung arti bahwa ketika perkara pidana yang sedang disidangkan mengandung satu elemen atau terdapat sengketa keperdataan.
"Misalnya, dalam suatu perbuatan pencurian yang objeknya adalah barang milik orang lain, ternyata si pelaku menyatakan barang itu milik dia, maka untuk membuktikan bahwa barang itu milik dia atau milik orang lain, perkara dibawa ke pengadilan perdata. Setelah itu, ternyata benar itu adalah barang milik dia, bukan barang milik orang lain, ditambah dia punya bukti otentik, sehingga dengan demikian Pasal 362 KUHP tidak terpenuhi. Akibat salah satu unsur pasal tidak terpenuhi, maka dia dibebaskan," terang Ahmad.
Kemudian, lanjut dia, apabila ada dualisme kepemimpinan, yaitu A merupakan karyawan yang terikat dengan PT X yang Direkturnya adalah B, lalu muncul E yang menyebut dirinya sebagai direktur baru pada PT X dan timbul permasalahan yang menyangkut tentang barang-barang perusahaan yang masih dikuasai A, maka apakah objek berupa barang itu milik PT X dengan Direktur E atau PT X dengan Direktur B harus diselesaikan dulu sengketa soal siapa yang berkompeten dalam memimpin perusahaan. Bagaimanapun juga perlu kepastian tentang siapa pimpinan perusahaan yang sesungguhnya karena berpengaruh terhadap aset yang dikuasai oleh A.