Jauh berbeda dibandingkan dengan negara berkembang, di mana 7% dari bencana dapat menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB mereka, bahkan hingga 30%. Terlebih bila dibandingkan dengan negara kepulauan kecil, di mana 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 50% dari PDB, dan beberapa melebihi 100%.
Masih dari data WMO, kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terus berkembang pesat. Selama periode 2010 – 2019, kerugiannya mencapai US$1.476,2 miliar. Ini bertumbuh signifikan dibandingkan dengan dekade 2000 – 2009 yang tercatat sebesar US$997,9 miliar. Sedangkan selama dekade 1990 – 1999, kerugian yang dihasilkan berkisar US$906,4 miliar dan dekade 1980 – 1989 hanya sebesar US$305,5 miliar.
“Ini menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara kecil, berkembang, dan negara kepulauan dalam menghadapi krisis air dan kebencanaan, padahal mereka yang paling terdampak,” ujarnya.
Dwikorita juga menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pihak dalam mengatasi persoalan dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Pasalnya, persoalan yang timbul sangat kompleks dan memiliki keterkaitan kuat dengan berbagai elemen dalam masyarakat.
Dia mencontohkan peran dan fungsi BMKG sebagai penyedia informasi dan data yang paling update dan tepat. BMKG dapat dijadikan landasan bagi pemangku kepentingan untuk menjalankan langkah-langkah mitigasi sebelum potensi kebencanaan terjadi.
“BMKG peran dan fungsinya memberikan informasi sedini mungkin. Makanya diperlukan kolaborasi. Begitu juga misalnya dengan kebijakan Kementerian Pertanian. Dengan Kementerian Kominfo untuk penyebarluasan informasi ini kepada masyarakat. Dan juga dengan sektor pendidikan dan pemberdayaan SDM. Karena ini menyangkut persoalan kemanusiaan, keselamatan bumi, bahkan peradaban, sehingga tidak mungkin dihadapai tanpa kolaborasi,” ujarnya.