Bahkan setelah pelaku mengetahui ada laporan masuk, pelaku selalu meminta jalan damai, namun korban enggan mengindahkan permintaan itu.
”Dia minta damai, alasannya istrinya minta cerai dan sebagainya, tapi saya tidak ada urusan dengan itu. Saya bilang, ayo ke notaris, lalu balik nama dan saya lunasi, karena sertifikat yang saya pegang atas nama istrinya. Tapi tidak ada itikad baiknya datang ke notaris, selalu banyak alasan. Kan penipuan itu,” bebernya.
Korban juga mengaku, pelaku meminta untuk mencicil pengembalian uang tersebut sekitar Rp200 sampai Rp250 juta. Namun korban tidak mau jika uangnya tidak dikembalikan gelondongan secara keseluruhan.
”Dia mau kasih kembali Rp200 juta dan sebagainya, saya tidak mau, harus komplit kembali semua. Bayangkan kalau saya ambilkan uang di bank, sudah berapa bunganya itu. Jadi saya bilang, kembalikan saja uang saya Rp400 juta, Rp25 juta itu sedekah ku. Tapi tidak ada itikad baik,” kata dia.
Menilai hal ini, Pakar hukum Universitas Negeri Makassar, Prof Heri Tahir mengatakan, tindak pidana penipuan biasanya dijerat pasal 378 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.
”Kalau penipuan, jeratannya itu pasal 378 KUHP. Hukumannya, maksimal pidana penjara empat tahun,” bebernya.
Dia juga menyayangkan hal ini, sebab pelakunya merupakan Aparat Penegak Hukum (APH). Seharusnya, polisi merupakan garda terdepan untuk memberantas hal-hal seperti ini, agar tercipta kondisi yang aman dan nyaman di tengah-tengah masyarakat.
”Tentu ini turut mencoreng integritas polisi sebagai penegak hukum. Seharusnya masyarakat mendapat perlindungan hukum dari polisi atas hal-hal seperti ini, bukan polisinya yang menjadi pelaku,” kata dia. (*)