Toh, dokter di era ini, khususnya jika melayani pasien BPJS yang sekarang menjadi mayoritas pasien hampir di seluruh fasilitas Kesehatan, tak lagi memiliki lagi otonomi dalam menentukan pilihan modalitas untuk mendiagnosa.
Semua harus dikalkulasi oleh tim di fasilitas Kesehatan, apakah plafon biaya bisa menutupi biaya pemeriksaan penunjang diagnose tersebut.
Jika tidak, lupakan saja, meskipun ada indikasi sangat kuat penggunaan nya.
Masih banyak hal lain jika kita mau menelisik seluruh masalah. Hal hal diatas hanyalah sekelumit fakta lapangan yang sulit dipahami jika seseorang hanya meneropong persoalan dari belakang meja, dan menganggap perhitungan matematika bisa menjadi solusi.
Upaya perbaikan layanan kesehatan di Indonesia yang menempatkan kekurangan dokter dan kurangnya fasilitas kesehatan sebagai isu utama, tanpa memahami substansi masalah, ibarat dokter salah diagnosa. Obat yang diberikan tentu salah, dan berpotensi menimbulkan perburukan atau bahkan kematian. (*)