Kemudian, oleh Bivitri menyatakan alasan terlibat dalam film tersebut karena ingin publik lebih paham tentang kecurangan yang terjadi dalam pemilu. Ini adalah contoh tindak tutur representatif, di mana pembicara (Bivitri) menyampaikan informasi atau kepercayaannya tentang dunia. Secara semantik, tuturan ini menyampaikan informasi tentang kecurangan pemilu, dan secara pragmatik, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik.
Feri menyatakan kehormatannya terhadap figur-figur yang mengajaknya serta tujuan edukatif film tersebut. Ini merupakan tindak tutur ekspresif yang menunjukkan perasaan atau sikap pembicara (Feri) terhadap situasi atau objek tertentu . Secara semantik, tuturan ini mengungkapkan rasa hormat dan tujuan edukatif, sedangkan secara pragmatik, menunjukkan dukungan terhadap nilai-nilai yang disampaikan oleh film.
Dalam konteks tuturan yang bersifat provokatif, narasi ini secara umum tidak langsung mengandung ancaman atau provokasi dalam bentuk yang eksplisit. Namun, secara pragmatik, ajakan untuk "melakukan penghukuman" dan penekanan pada "kecurangan yang luar biasa" dalam pemilu dapat diinterpretasikan sebagai tindak tutur yang memprovokasi kesadaran kritis penonton terhadap isu pemilu dan politik.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah ahli hukum yang menyampaikan narasi dalam film ini dapat di beri hukuman karna dianggap provokatif? undang-undang mengenai provokasi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam Pasal 160 dan Pasal 161. Pasal 160 KUHP menegaskan bahwa siapa pun yang di depan umum, baik melalui lisan maupun tulisan, menghasut untuk melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang sah berdasarkan undang-undang, akan diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.