Kata dia, masa itu konsumennya hanya dari kalangan tukang becak, sopir angkot, penjual ikan, dan jemaah subuh. Dia berkisah, nuansa saat itu penuh aral lintang. Pada akhirnya, tahun 1989 lapak jualannya diambil alih oleh pemilik rumah.
”Tahun 1989 itu kami menganggur. Karena teras tempat kami jualan diambil alih yang punya rumah. Mungkin karena sudah ramai. Tetapi tidak bertahan juga,” imbuhnya.
Masuk tahun 1990 sampai 1992, Dg Anas dan ayahnya kembali membuka usaha kecil di depan rumahnya, Jalan Sabutung. Mereka berdagang sarabba karena orang tuanya tidak mau berjualan kopi. Sebab, orang yang mengambil alih warung kopi mereka itu masih ada hubungan keluarga.
Kemudian pada tahun 1992, Nawir Rahim mendapat kepercayaan oleh pemuka agama, KH Muhammad Nur, untuk buka warung kopi di lokasinya. Letaknya di Daya, dekat kantor Damri, sekitar patung ayam saat ini.
Di sana, barulah ayahnya membuat branding warung kopi dengan nama Sinar Daya, berbeda dengan sebelumnya yang tidak mengangkat brand. Akan tetapi, prosesnya kembali dari awal, memulai dari nol untuk mencari pelanggan baru.
”Di sana mulai dari nol lagi. Tapi karena lokasinya dekat Damri, konsumennya banyak pegawai Damri. Terus Polda pindah ke sana, makanya mulai banyak yang ngopi di warkop kami. Saya ikut di sana sampai tahun 1999,” jelasnya.
Setelah itu, Dg Anas meminta restu orang tuanya untuk hidup mandiri. Akhirnya dia memulai usaha sendiri pada tahun 2001. Saat itu, dia hanya memakai tenda, lokasinya di pembakaran kapur Pettarani, yang sekarang menjadi Giant.