Ketiga, anak-anak mahasiswa melalui surat edaran ini perlu diajak untuk sama-sama bersinergi menegakkan etika kehidupan berkampus yang sering disebut sebagai kode etik. Contohnya, segera setelah surat edaran dikeluarkan, pihak pimpinan mengajak para pengurus lembaga untuk berdialog, tetapi tidak ada satupun yang hadir. Contoh lain yang menunjukkan sebuah paradoks untuk mewujudkan etika sosial berkampus, yang diatur adalah melarang demo yang mengganggu ketertiban umum dan membakar ban, tetapi justeru mereka melakukannya saat memprotes substansi yang diatur.
Saat kode etik universitas melarang mencoret-coret kampus, menyebar tulisan dan spanduk yang mencoreng lembaga dan menyerang secara personal pimpinan kampus, justeru mereka memperagakan prilaku itu secara terbuka. Bahkan ditemukan upaya sistimatis yang secara jelas berupaya untuk merusak citra kampus dengan selebaran pada saat penerimaan mahasiswa baru, tetapi terantisipasi oleh panitia.
Keempat, surat edaran ini tentang perlunya mahasiswa meminta izin kepada pimpinan adalah inisiasi internal pimpinan kampus karena dengan cara itulah proses penertiban bisa berjalan. Pihak universitas meyakini langkah tepat ini dari pemahamam mendalam tentang kondisi yang berjalan selama ini. Pihak universitas berkomitmen mewujudkan praktek berkegiatan yang terkontrol. Pihak universitas sudah begitu repot menerima keluhan masyarakat tentang demonstrasi yang meresahkan masyarakat.
Adapun masalah DO, perlu kami jelaskan bahwa setiap tahunnya, ada ratusan, bahkan pernah ribuan mahasiwa di-DO karena berbagai faktor yaitu IPK tidak mencapai 2.0, tidak aktif selama dua semester, melewati masa studi, tidak membayar UKT dan karena pelanggaran kode etik atau tata tertib Akademik dan kemahasiswaan.