"Terkait dengan pemberitaan Pilkada, dapat kita lihat praktik di lapangan. Sebab, belajar dari pengalaman 10 tahun lalu ada imbas langsung dari profesionalisme media dan jurnalisnya dalam melakukan peliputan karena adanya keberpihakan," kata Nurdin.
Mantan Ketua AJI Makassar ini juga menegaskan, masyakat ketika merasa dirugikan, tidak puas pemberitaan media tidak boleh semena-mena, apalagi melakukan penyerangan, karena mekanismenya sudah diatur oleh Dewan Pers yakni hak jawab, serta hak koreksi.
"Berbicara etik, apa yang kita lihat di masa Pilkada ini, banyak informasi beredar terkait informasi hoaks, baik di grup WhatsApp, maupun media sosial banyak kampanye-kampanye. Di sini dituntut kejelian jurnalis tidak segampang mengambil informasi menjadikan berita, apalagi tidak jelas sumber aslinya dari mana," papar pria yang karib disapa Nuru ini.
Hal senada disampaikan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Andi Muhammad Sardi.
Ia mengaku sepakat bahwa ada jurnalis profesional dan tidak profesional, namun yang terjadi satu-dua tahun belakangan ini banyak yang memanfaatkan profesi ini dengan kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum.
"Inilah yang menjadi konsen kami di IJTI bagaimana bisa memantau dan khususnya bermain di audio visual khusus platfrom digital aturanya dipertegas. Terkait Pilkada, aturan organisasi dilarang melibatkan atau terlibat dalam politik praktis, itu sudah tegas aturannya. Sanksi juga sudah tegas, pemecatan dari anggota dan direkomendasikan ke media dia bernaung," terangnya.