FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Hajirah kini membuka warung kecil untuk bertahan hidup. Suaminya yang dulu bekerja sebagai nelayan, kini banting setir jadi buruh angkut ikan di pelelangan.
Hajirah adalah Warga Tallo, Makassar. Dampak krisis iklim dan reklamasi Makassar New Port membuat dirinya dan keluarga mesti memutar otak mengais rupiah.
“Untuk bertahan, saya buka warung kecil-kecilan. Suami saya keluar kampung. Karena pendapatan sudah tidak menentu. Cuaca juga tidak menentu. Suami jadi buruh angkut di pelelangan,” tuturnya saat jumpa pers di Hotel Royal Bay, Jalan Sultan Hasanuddin, Makassar, Kamis (24/10/2024).
Bukan hanya dirinya, warga lain yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut bernasib serupa. Mereka kini mencari peruntungan lain.
“Laki-laki itu ada yang ke daerah. Ada yang hanya pulang satu minggu sekali. Semua alat tangkap (ikan) sudah rusak,” ujar Hajirah.
Apa yang dirasakan Hajirah hanya salah satu potret dari dampak krisis iklim di Sulsel. Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Sulawesi Selatan (Sulsel) di Sulsel, pada Rabu, 24 Oktober 2024 membuat konsultasi rakyat terkait dampak krisis iklim.
“Ada beberapa unsur masyaralat sipil yang turut serta menghadiri konsultasi rakyat ini. Seperti buruh, rakyat miskin kota, disabilitas, nelayan, dan warga pesisir,” kata Salman dari LBH Makassar.
Sejumlah OMS yang menggelar itu di antaranya LBH Makassar, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, dan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SP-AM).