Namun, dalam waktu satu tahun, izin tersebut tiba-tiba keluar, meskipun masih ada keraguan mengenai keabsahannya.
Ia menekankan bahwa sebelum izin lingkungan dikeluarkan, seharusnya ada prosedur yang melibatkan masyarakat, seperti seminar terbuka dan kajian akademis.
Keberadaan tambang ini juga merusak jalan yang sebelumnya telah dibangun dengan beton oleh pemerintah daerah. Kini, akibat sering dilalui kendaraan berat, jalan tersebut mengalami kerusakan parah.
“Dahulu sebelum ada perusahaan tambang, jalan itu sudah dibeton oleh Pemda Toraja dan sangat mulus. Sekarang sudah hancur semua, sudah tidak ada sama sekali kelihatan bentuk beton,” tambah Agus.
Warga yang berinisiatif memperbaiki jalan justru mendapat hambatan dari pihak tambang. Bahkan, mereka dilaporkan ke pihak kepolisian oleh perusahaan yang merasa aksesnya terganggu.
Selain itu, keberadaan tambang juga mengancam sektor pariwisata setempat. Salah satu destinasi wisata, rumah adat Tongkonan Maringbulu, terancam kehilangan daya tariknya karena lokasi tambang yang berdekatan.
Tak hanya itu, sumber mata air Matawoi, yang mengairi puluhan hektare sawah, juga berada dalam risiko akibat aktivitas pertambangan yang mengikis batuan di sekitarnya.
Warga juga mengeluhkan kebisingan akibat aktivitas tambang yang berlangsung hingga larut malam.
“Sesuai informasi masyarakat, mereka beroperasi sampai larut malam, dari jam 11 sampai 12 malam. Ini mengganggu sekali, yang lewat setiap hari sampai malam hari,” tukasnya.
Agus berharap pemerintah daerah dan kepolisian segera bertindak sebelum dampak negatif semakin meluas.