Sebagai contoh, kalau ada konflik antara rakyat dan penguasa didekati dengan komunikasi satu arah atau menurut persepsi satu arah. Karena, komunikasi satu arah biasa menekan rakyat dengan berdalil itu suara Tuhan. Padahal Itu Suara penguasa. Disi tulah pentingnya dialog atau komunikasi dua arah agar kita me ngetahui suara rakyat suara "Tuhan" (baca:suara kebenaran).
Inilah yang terjadi pemimpin di depan mata kita, para cerdik pandai, terkadang lupa diri dan tidak mampu meneriakkan kebenaran karena mengambil jarak terhadap peristiwa kemasyarakatan dan posisinya di koptasi naluri mempertahankan ke kekuasaan (baca ; bahasa kekuasaan). Valensi kewibawaan dan kekuatan terkungkung sehingga kebebasan untuk menyampaikan kebenaran, menjadi tumpul.
Akhirnya, perilaku pemimpin dengan menggunakan bahasa kekuasaan untuk membungkam rakyatnya. Menggunakan diksi-diksi yang diklaim sebagai alas an untuk membenarkan pendapatnya. Sebuah penegasan yang tidak lain manifest menyembunyikan kemunafikan.
Hal itu terjadi, pemimpin tersebut telah dibutakan pikiran dan hati nurani dalam memandang realitas sosial. (*)