Fajar.co.id, Luwu Utara -- Tak ada yang mengira jikalau Pemetaan Berbasis Partisipatif yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Luwu Utara melalui Bappeda kemudian menjadi salah satu inovasi yang sangat diunggulkan masuk ke dalam inovasi terbaik TOP 30 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemetaan Berbasis Partisipatif oleh Tim Pelaksana Warkop Indah kemudian mencoba memberikan akronim yang unik dan menarik. Dipilihlah “Peta Baper” sebagai akronim yang diusulkan ke KIPP melalui JIPP. Atas kesepakatan tersebut, Peta Baper menjadi akronim resmi yang diusulkan.
Inovasi ini sebenarnya adalah inovasi “keroyokan” alias kolaboratif. Banyak stakeholder terlibat di dalamnya, di antaranya Pemerintah Daerah, Kecamatan, Desa, NGO, dan masyarakat. Inovasi ini berangkat dari masalah bahwa belum tersedianya peta tematik batas desa untuk mempertegas letak dan posisi wilayah antardesa. Sekaligus menyelesaikan setiap konflik batas desa yang acap kali terjadi. Tak hanya di Lutra, tapi juga di seluruh Indonesia. Padahal Presiden Jokowi sejak 2016 telah meluncurkan program Kebijakan Satu Peta. Ada 85 peta tematik yang harus diselesaikan. 84 di antaranya selesai. Sisa satu yang belum, yaitu peta batas desa.
Meski bukan program yang menjadi tupoksi Bappeda, tapi kemampuan Bappeda melihat peluang pemetaan partisipatif, maka dilakukanlah pertemuan membahas pemetaan batas desa berbasis partisipatif. Bappeda, PMD, Camat, Kepala Desa dan beberapa NGO seperti Wallacea, mencoba membuat formulasi bagaimana memulai inovasi ini. Akhirnya, disepakati pembagian tugas, siapa mengerjakan apa. Bappeda sebagai fasilitator melalui rapat-rapat koordinasi, NGO melakukan advokasi melalui sosialisasi dan pelatihan, kecamatan sebagai jembatan koordinasi, desa menyiapkan anggaran melalui dana desa, serta masyarakat terlibat langsung dalam proses pemetaan di lapangan. Semua terlibat dengan harapan lahirnya peta tematik batas desa.