FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Wajah asri Kota Makassar belum tampah. Ruang Terbuka Hijau (RTH) masih minim. Justru bangkitan kumuh yang meningkat.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas suata kota. Rinciannya, 20 persen ada di area publik, seperti taman. Lalu, 10 persen ruang private. Ruang privat ini paling mudah dilihat di depan rumah toko atau ruko.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, RTH di Kota Makassar menyentuh di angka 8,2 persen. Padahal pada 2019 ada di angka 9 persen. "Pasca tol Pettarani merosot lagi.
Semakin ke sini kian menurun. Sebenarnya tidak seperti itu. Kan diatur dalam undang-undang penataan ruang," kata Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin.
Kata Amin, RTH di Kota Makassar harus proporsional. Tidak pada satu tempat. Akan tetapi, juga daerah-daerah penyangga. Di antaranya, dekat aliran sungai, pemukiman, dataran rendah, dan pesisir. Hal ini dinilainya perlu, agar kehadiran RTH dapat menambah volume tanah untuk mencegah banjir.
Juga, diakuinya, tanpa RTH maka masyarakat akan terus menghirup polusi. Apalagi konsumsi bahan bakar masih dominan. "Lalu kemampuan tanah mersesap air hujan kian menurun sehingga terjadi banjir. Makanya harus proporsional, karena seluruh wilayah di Makassar masih langganan banjir," tutupnya.
Minimnya RTH di Kota Makassar kian diperparah dengan kehadiran pedagang kaki lima (PKL) di area hijau. Seperti, lapak di taman median jalan. Hal itu bisa dilihat di Jalan Pengayoman. Juga, terkait pembangunan. Pemerintah boleh mengklaim sudah melakukan kompensasi saat pembangunan tol, tetapi bukan itu.