Ia juga mengingatkan, agar seluruh lapisan masyarakat menghargai negara ini. Maksudnya, Indonesia merupakan negara hukum. Bukan kekuasaan. Di mana, segala sesuatunya diatur dalam hukum. "Jika tetap dilakukan maka akan melanggar Perda (masuk dalam tataran hierarki Undang-undang)," katanya.
Ia menjelaskan, secara analogi, pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 20 ayat 1 sampai ayat 5 UUD 1945. Hal itu juga termasuk pada perda. Wali kota tidak boleh douternement de pouvoir atau penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan.
"Misalnya aturan yang jadi dasar kewenangannya menyatakan A, tetapi yang dilakukan adalah B, seperti itu," jelasnya. Karena itu, apabila Danny Pomanto tetap berkeras melakukan pergantian RT dan RW maka sangat tidak berdasar atas aturan.
Bisa melanggar administrasi negara. Kebijakan tersebut ini bisa digugat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Gugatan di PTUN atas kebijakan tersebut sangat dimungkinkan. Dan saluran atas kebijakan tersebut memang demikian, bukan pidana," akunya.
Lebih lanjut, ia menuturkan kebijakan yang dilakukan oleh Walikota Makassar terlalu jauh. Pasalnya RT/RW dipilih oleh warga secara demokratis. Sehingga tidak bisa diganti seenaknya jika tidak ada diluar aturan tidak boleh dilakukan. "Sebaiknya, fokus pada hal-hal yang strategis saja," harapnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Acara Pidana UMI, Prof Sufirman Rahman melihat, secara aturan rencana pergantian RT/RW itu merupakan sebuah pelanggaran hukum. Kekuatan Perda setara dengan undang-undang. Juga, bertentangan dengan aturan sosial yang masih banyak dipegang oleh masyarakat Bugis-Makassar.