Lalu mungkinkah? Sangat mungkin. Karena perang 11 hari baru lalu, telah membuka mata publik dunia, betapa kejamnya tentara Israel dalam menghancurkan Palestina. Hukum peperangan tak digubris Israel. Anak-anak dan wanita yang tewas juga tak dipedulikan Israel. Itulah sebabnya dunia internasional bereaksi mengutuk negeri zionis itu.
Aneh. Negeri yang kini mengutuk Israel dengan keras pada perang 11 hari itu justru negara-negara Eropa Barat, Kanada, dan Australia -- sekutu AS. Bagi mereka, kebrutalan Israel bersifat politik.
Di Israel saat ini yang berkuasa adalah partai Likud pimpinan Benyamin Netanyahu. Likud dan Netanyahu "punya dagangan politik" rasis anti Palestina, antiArab, dan anti-Islam. Catat --itu dagangan politik untuk mendapat simpati mayoritas warga Yahudi populis.
Padahal, di Israel sendiri jumlah penduduk beragama Islam dan etnis Arab cukup banyak, mencapai sekitar 20 persen. Sedangkan penduduk Palestina sendiri populasi Islamnya sekitar 75 persen. Sisanya ada orang Kristen, Yahudi, Zoroaster, agama lokal, bahkan atheis.
Dengan melihat komposisi partai politik berkuasa di Israel dan Palestina, sebetulnya peluang diplomasi untuk menciptakan perdamaian dan kemerdekaan Palestina sangat besar. Hampir semua diplomat negara-negara Barat, misalnya, mendukung kemerdekaan Palestina. Di Dewan Keamanan hanya Amerika yang menolak untuk mengutuk Israel.
Hampir 90 persen negara di dunia mengutuk Israel di perang 11 hari dan mendukung kemerdekaan Palestina. Masalahnya memang terganjal pada partai berkuasa di Israel dan sikap Amerika yang selalu membela negeri zionis itu.