Oleh Arief Wicaksono
(Dekan Fisip Universitas Bosowa, Peneliti Penta Helix Indonesia.)
Banyak orang yang berpendapat, bahwa saat ini kita telah memasuki era dimana sesuatu yang ditampilkan, dapat melampaui kebenarannya - pasca kebenaran, atau bahasa populernya, post-truth. Frasa post-truth ini pertama kali disebutkan oleh Steve Tesich pada tahun 1992, dalam artikelnya yang berjudul The Government of Lies' dalam majalah The Nation. Saat itu Tesich menulis frasa tersebut, dalam konteks Perang Teluk dan hubungannya dengan Iran. Tahun 2004, Ralph Keyes dalam karyanya, The Post-Truth Era, bersama komedian Stephen Colber juga membincang hal yang kurang lebih sama: truthiness. Kata ini mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.
Mengapa Post-Truth?
Pada tahun 2016, terdapat dua peristiwa yang menjadi momentum rebound-nya popularitas kata post-truth yaitu, rencana keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa yang dikenal sebagai British Exit ( Brexit ) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Di tahun yang sama, kata post-truth bahkan menjadi word of the year dalam kamus Oxford, dimana Oxford sendiri mendefinisikan post-truth sebagai kondisi di mana fakta dan data, tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.
Saat ini putaran informasi berubah, bergerak, bertambah dan berkembang biak. Saking masifnya, kita yang awam, cenderung berada pada posisi sebagai konsumen informasi, dimana kita harus terpaksa menerima semua itu sebagai cemilan yang pada akhirnya membuat kita mengidap kegemukan, obesitas informasi. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh industri kebohongan masa kini, yang membuat kita merasa jika kebohongan tadi, adalah sebuah kebenaran. Persis seperti kutipan legendaris Menteri Propaganda Nazi Jerman (1933-1945), Joseph Goebbels, "Kebohongan yang diceritakan satu kali, akan tetap menjadi kebohongan. Tetapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali, akan menjadi kebenaran".