Tapi, jelas saya kemudian kepada Muhammad Lutfi, bahwa memang sudah menjadi tuntutan seorang politisi. Mereka, tidak boleh merasa puas dengan telah menjalankan tiga fungsi utamanya. Namun mereka harus juga punya kapasitas aktif untuk bicara, memproduksi wacana di ruang publik. Sesuai namanya, anggota parlemen, parle berasal dari kata Prancis, yang berarti bicara. Ini jadi isyarat bahwa seorang anggota parlemen ruh atau eksistensinya terletak pada bicara. Aku bicara, maka aku ada.
Lalu mengapa para politisi kita itu, jadi miskin narasi dan kering argumentasi seperti kata Abdul Jabbar tadi. Lalu apa pentingnya narasi bagi politisi dan politik Sulsel di tahun 2022 ini. Sejauhmana implikasinya bagi eksistensi politik Sulsel baik di kawasan maupun di level nasional. Ini yang saya coba jadikan pemantik diskusi di ruang-ruang publik di Sulsel.
Sibuk, tidak Sempat Baca
Narasi itu lahir dari perenungan, refleksi dan buah pikir yang panjang. Bergulat dan berinteraksi dengan dinamika dan persoalan hidup. Melihatnya dengan paradigma. Menganalisanya dengan kerangka teori. Dan menyimpulkannya menjadi sebuah gagasan atau solusi.
Siapa yang tidak mengenal Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka dikenal bukan hanya sebagai the founding fathers, namun yang paling penting adalah politisi yang genuine. Dalam pribadinya, di antara kita boleh jadi lebih banyak mengenal gagasan-gagasan pemikirannya, dibandingkan sumbangan pembangunan fisiknya. Karena mereka memang aktif memproduksi gagasan dan wacana kebebasan, kemerdekaan. Bagaimana kita mengenal bung Karno dengan bukunya Di bawah Bendera Revolusi. Bung Hatta dengan karyanya: Kebangsaan dan Kerakyatan.