Kutipan-kutipannya banyak yang kita kenang untuk menggugah semangat. Pemikirannya banyak yang kita endorse untuk dipakai sebagai pengingat. Dan lain sebagainya. Bung Karno dan Bung Hatta bisa saja mati, namun gagasan, wacananya tetap hidup dan lestari. Inilah yang dikenang hingga saat ini.
Satu hal yang pasti, mereka para politisi yang mampu menorehkan gagasan dan membangun narasi, karena memang berpengalaman panjang dalam perjuangan dan gerakan aktivisme. Wawasannya dibangun oleh bacaan yang panjang dan berlimpah terhadap buku-buku bacaan bermutu, ditambah dengan tempaan kehidupan yang sulit, penderitaan, dan empati kepada rakyat. Dari sejarah kita tahu Bung Karno, penikmat buku karangan tokoh dunia seperti Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincolin. Buku-buku kiri juga dilahapnya seperti karya Karl Marx, Karl Radek, Karl Kautsky, Friedrich Engels, dan Lenin. Hatta pun demikian, pembaca buku yang tekun dari para pemikir-pemikir besar. Dalam biografinya disebutkan bahwa saat dipenjara di Boven Digul, dia membawa 16 peti besi yang berisi ratusan judul buku yang dibacanya.
Pengetahuan itu dibangun dari hasil bacaan. Kritisisme dibangun dari penderitaan. Jadilah, lengkap sudah kapasitas pengalaman yang membentuk kekuatan para politisi di zaman kemerdekaan. Mereka tumbuh menjadi politisi kuat dan berkarakter.
Melihat kinerja politisi Sulsel saat ini, mereka kurang produktif membangun narasi, boleh jadi terlalu sibuk di Dapil atau seperti kata Muhammad Lutfi tadi, mereka terjebak pada arus rutinitas fungsi mereka, sehingga lupa untuk membaca dan berdiskusi. Atau bisa saja karena mereka tidak punya kapasitas, sehingga sulit diharapkan bisa membuat narasi. Semoga dugaan yang terakhir saya ini keliru.