Narasi dan Ingatan Publik
Teun Van Dijk pernah mengatakan “who controls public discourse, at least partly controls the public mind”, siapa yang menguasai narasi publik, dia yang akan menguasai pikiran publik. Disinilah pentingnya politisi memiliki kemampuan membangun narasi.
Narasi adalah gagasan ide atau pemikiran tentang persoalan tertentu. Politik yang piawai membangun narasi adalah seorang yang produktif, memiliki ide dan gagasan tentang persoalan yang terjadi saat ini maupun di masa depan.
Sering disebut bahwa negara ini dibangun berdasarkan ide-ide besar para pendahulu kita. Ide besar itu salah satunya tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini, pilar negara ini menjadi paradigma berpikir dan bertindak rakyat Indonesia ketika berhadapan terutama dengan paham yang datang dari barat, seperti individualisme, kapitalisme, dan lain-lain.
Terbukti sudah 76 tahun, Indonesia merdeka. Kekuatan pikiran tentang Pancasila dan UUD 1945 masih menguasai jalan pikiran masyarakat Indonesia. Begitulah kuatnya narasi kebangsaan Indonesia. Dia mampu menjadi pemersatu sekaligus juga pelindung dari rongrongan nilai-nilai Barat.
Bagaimana dengan bangsa kita dan para politisi Sulsel khususnya? Alih-alih menjadi produsen ide dan gagasan, mereka justru yang asik menikmati ide yang ditawarkan dari luar. Mereka cuma jadi penikmat yang pasif.
Dari itulah, kalau dilihat di media, laku para politisi di Sulsel, boleh jadi hanya berupa komentar-komentar ringan dan singkat terkait persoalan tertentu. Sebutlah soal Covid-19, bagaimana politisi sebatas mengomentari wabah yang terjadi. Tapi tidak sampai terjadi polemik hingga menjadi sebuah diskursus atau wacana yang mencerahkan. Yang juga terjadi adalah rendahnya kemampuan membangun narasi yang positif dan produktif. Karena jangan asal viral, tapi yang disebar justru hoak atau berita bohong. Dari itulah, perlu ada kecakapan dan penguasaan terhadap persoalan. Terkait dalam hal ini cek and ricek data.