FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua beserta 11 orang lainnya menggugat atau mengajukan pengujian formil Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasar laman resmi MK seperti dilansir dari Antara di Jakarta, gugatan yang dilayangkan Abdullah Hehamahua dan kawan-kawan teregistrasi dengan Nomor 15/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022. Para pemohon tersebut menamakan diri atau tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).
Dalam permohonannya, pemohon menyebutkan sejumlah poin-poin kerugian konstitusional. Di antaranya pemohon dirugikan secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi apabila diberlakukannya Undang-Undang IKN. Tidak hanya itu, sebagai mantan penasihat KPK yang telah mengabdi selama 10 tahun, Abdullah mengatakan, telah berupaya melakukan berbagai upaya untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktik-praktik korupsi di Indonesia.
Selain itu, pemohon I juga mengerti dan memahami celah-celah terjadinya praktik korupsi di Indonesia yang salah satunya melalui pembangunan fisik yang dananya berasal dari APBN. ”Perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan tentunya memerlukan pembangunan yang besar-besaran guna mendukung fasilitas di ibu kota baru,” bunyi keterangan pemohon Abdullah Hehamahua.
Dia menjelaskan, dana yang diperlukan untuk pembangunan IKN baru adalah sebesar kurang lebih Rp 501 triliun. Dengan dana yang begitu besar, akan membuka peluang untuk terjadinya korupsi.
Selain itu, pemohon yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (PKPN) pada 2001, merasa perlu memberikan saran atau partisipasi dalam proses pembentukan Undang-Undang IKN. Pemohon juga berniat memberikan masukan upaya yang harus dilakukan pemerintah supaya pembangunan yang dilakukan di IKN baru terhindar dari praktik korupsi. Namun, dengan proses penyusunan Undang-Undang IKN yang begitu cepat dan cenderung tergesa-gesa, serta tertutup menyebabkan hak pemohon terlanggar.