"Pilkada 2024 masih lama, hasil survei tersebut masih terlalu dini dijadikan instrumen untuk menyimpulkan siapa yang akan menjadi Gubernur Sulsel mendatang, masih ada rentang waktu 2 tahun lebih. Namun tidak salah juga dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerja politik dari aktor atau mesin politik tertentu. Masih ada waktu yang masih cukup untuk melakukan perbaikan, pembenahan bahkan percepatan langkah-langkah politik di masa mendatang", ungkap Asratillah.
Asratillah juga menegaskan banyak dari nama bakal kandidat gubernur, masih menjabat sebagai kepala daerah, dan banyak juga yang menjabat sebagai pimpinan bahkan ketua partai.
"Bagi yang menjabat kepala daerah, masih fokus dalam menyelesaikan sisa tugas yang masih ada. Bagi yang menjabat sebagai fungsionaris parpol, pasti akan lebih fokus melakukan konsolidasi parpol, apalagi di jadwal KPU, Pileg-Pilpres lebih dahulu dilaksanakan dibanding Pilkada," jelasnya.
Bagi Asratillah, yang paling dibutuhkan oleh publik saat ini adalah edukasi politik berupa, sosialisasi visi setiap bakal kandidat. Tidak terlalu berfaedah untuk membuat gemuruh ruang publik hanya dengan capaian persentase elektabilitas.
"Tidak terlalu berfaedah juga untuk membuat publik hiruk-pikuk dengan publikasi hasil survei. Kita mesti mengembalikan hasil survei ke fungsi utamanya, yakni sebagai sarana pemetaan politik dalam rangka mendesain strategi politik yang lebih efektif. Yang dibutuhkan publik adalah pengetahuan yang cukup akan visi dari setiap bakal kandidat , tawaran langkah-langkah dari bakal kandidat tentang bagaimana memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat. Karena yang akan menentukan maju tidaknya Sulsel ke depan adalah visi dari Gubernur yang akan terpilih, bukan dari persentase perolehan suaranya," pungkas Asratillah.