Tatak bilang, Ahok juga pernah melarang masyarakat untuk mengadakan pengajian akbar di halaman Monumen Nasional. Menurut dia, pengajian seharusnya dilaksanakan di masjid atau tempat luas lainnya, tidak harus di Monas.
"Lain Ahok, lain Anies. Alih-alih melarang, Anies justru mendorong warga untuk memanfaatkan ruang ketiga Jakarta — taman, trotoar, dll ruang publik — sebagai tempat interaksi, termasuk menyelenggarakan kegiatan ekspresi keagamaan," katanya.
Dia menjelaskan bahwa Anies merevitalisasi trotoar agar lebar dan nyaman. Taman-taman dibuat lebih banyak. JPO dibuat unik.
Stasiun dan halte dibuat terintegrasi. Semuanya didisain agar warga punya lebih banyak alternatif ruang ketiga untuk berinteraksi, termasuk dalam mengekspresikan rasa cinta mereka pada agama.
"Kebijakan Anies ini memberi bukti bahwa ekspresi keagamaan di ruang publik tak membawa dampak negatif. Tak mengganggu kegiatan masyarakat. Tak mengganggu ketertiban. Tak menumbuhkan intoleransi," ujar Tatak.
"Sebaliknya, ekspresi keagamaan di ruang publik justru dapat membuka ruang interaksi, dialog, kesalingpahaman yang berujung pada toleransi. Yang menjadi fondasi dari persatuan Indonesia," imbuhnya.
Dia menilai, keberhasilan Anies Baswedan itu nyata. Empat tahun berturut-turut, selama Anies memimpin, Jakarta dinilai oleh hasil survei BPS sebagai Provinsi paling demokratis di Indonesia.
"Tahun 2020 Jakarta meraih penghargaan Harmony Award dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB)" ucapnya.
"Cara Anies membolehkan ekspresi keagamaan ini adalah cara Pancasilais membangun kota. Amat berbeda dengan cara Sekularis yang cenderung menghalau agama dari ruang publik," pungkas Tatak. (fin)