Sementara itu, Sekretaris Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Makassar, Tajuddin Beddu mengatakan, pihaknya melibatkan aparat penegak hukum (APH) dalam proses penyerahannya.
Diantara banyaknya pengembang yang menjadi atensi BPK, banyak yang sudah tidak aktif bahkan vailid.
“Itu yang perlu dibuatkan semacam regulasi. Kitakan bisa ambil. Nanti kita lakukan pengumuman. Tidak bisa juga kami menganggarkan. Kalau tidak dilakukan jadi masalah juga karena masyarakat kita di kompleks perumahan yang tidak aktif itu berinisiatif mau menyerahkan. Karena kalau mereka mengajukan perbaikan fasum fasos tidak bisa. Kita disini ada regulasi. Sementara penyerahan dilakukan kalau itu ada alas haknya,” jelasnya.
Dalam Permendagri No. 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman di Daerah diatur, setelah pengembang melakukan pembiaran selama satu tahun maka wajib menyerahkan PSU.
Selanjutnya dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 tahun 2011. Perda tersebut memberikan tiga opsi kepada para pengembang. Pertama, menyediakan dua persen (2%) lahannya untuk pemakaman.
Kemudian opsi kedua, yakni membayar kompensasi ke pemerintah daerah. Dan yang ketiga, pengembang berkoordinasi dengan lingkungan sekitar perumahan terkait penyediaan tanah makam.
“Kompensasi luas kuburan, dua persen dari luas PSU. Aturan di perda, 0-25 hektar itu wajib menyerahkan PSU minimal 30 persen. Di dalamnya sudah termasuk 10 persen RTH. Kalau di atas 25-100 hektar wajib menggunakan 40 persen. Tapi di atas 100 hektar itu 50 persen. Tapi biasa saya lihat pengembang kalau di atas 100, dia klaster jadi menutupi itu, dia gunakan politik dagang,” tuturnya.