Prinsip-prinsip apatis dan pesimistis ini yang mesti disisihkan. Rakyat sebagai objek utama demokrasi, harus punya pendirian mantap. Jangan asal pilih, apalagi memilih karena ada faktor U di balik B.
Dalam permasalahan ini, masyarakat kaum intelektual mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perubahan perpolitikan. Berada dalam dunia politik bukan tentang benar atau salah melainkan tentang menang dan kalah.
Kaum intelektual punya tugas untuk memberikan pemahaman. Politik uang dengan cara-cara kotor yang dijalankan akan membuat demokrasi kian terpuruk.
Ini yang menyebabkan kekuasaan sudah bukan di tangan rakyat melainkan di tangan “uang”, sehingga kedaulatan bukan untuk rakyat melainkan untuk “pemilik uang” (manajemen.uca.id -- pengaruh, dampak dan cara penyelesaian dari money politik terhadap partisipasi masyarakat dalam pilkada oleh kaum intelektual).
Politik uang ini jelas dapat merusak bangsa. Sistem demokrasi Indonesia akan tercederai. Demokrasi yang harusnya “bebas” menjadi tidak bebas hanya karena pembelian hak suara tersebut.
Kedaulatan yang seharusnya milik semua orang, sekarang hanya menjadi pemilik uang. Selain itu, praktek politik uang juga dapat merusak moral demokrasi.
Rakyat memilih pemimpin bukan karena asas kepemimpinannya, bukan karena kinerjanya, bukan karena visi dan misinya, melainkan karena uang yang diberikan. Menambah suara demi kepentingan oknum-oknum tertentu.
Sebagai kaum intelektual, kita harus bisa menanggapinya. Salah satunya mencegah hal-hal yang mungkin akan memicu terjadinya praktik politik uang. Bisa dengan memulai dari diri sendiri, untuk tidak menerima uang yang ujungnya diminta memberikan suara pada calon tertentu.