dr. Habibah S. Muhiddin, Sp.M(K) juga mengatakan secara global, kelainan refraksi yang tak terkoreksi (seperti mata minus dan silinder) merupakan penyebab utama gangguan penglihatan yang seharusnya dapat dicegah.
Jumlah penderitanya berkisar 88,4 juta orang. Laporan InfoDATIN, Kementerian Kesehatan: “Situasi Gangguan Penglihatan” (2018) memperlihatkan bahwa prevalensi kebutaan di Sulawesi Selatan mencapai 2,6% (hanya sedikit di bawah rata-rata nasional 3,0%).
"Data tersebut juga mencantumkan angka kebutaan akibat gangguan refraksi di Sulawesi Selatan menjadi yang tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya," ucapnya.
Artinya, keberadaan Mata minus menjadi salah satu jenis kelainan refraksi yang prevalensinya terus meningkat. Studi menyebut, sekitar 40% dari populasi dunia (3,3 miliar orang) akan menderita miopia pada 2030 mendatang.
"Bahkan, diprediksi akan berjumlah lebih dari setengah populasi dunia (4,9 miliar orang) pada 2050," ucapnya.
Kepala Klinik Utama Mata JEC-Orbita Makassar, dr. Mirella Afiffudin, M.Kes, Sp.M
mengatakan salah satu langkah untuk menangani mata minus adalah Laser-Assisted In-Situ Keratomileusis (LASIK) - yakni prosedur bedah menggunakan laser yang bertujuan untuk bebas dari kacamata dan lensa kontak.
Waktu tindakan dan pemulihan yang cenderung cepat menjadi keunggulan langkah ini. Meski demikian, kekhawatiran terhadap tindakan LASIK masih kerap muncul di tengah masyarakat; adanya efek samping setelah tindakan seperti mata kering.
“Sebagian besar penderita mata minus, dan kelainan refraksi lainnya, sangat bergantung pada kacamata atau lensa kontak untuk melihat lebih jelas," ungkapnya.