Jepang dikenal sebagai negara yang sering mengalami bencana gempa bumi. Hal ini dikarenakan Jepang terletak di jalur Ring of Fire yang menyebabkan banyaknya gunung api aktif.
Selain itu, Jepang juga berada pada tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Nah, film ini menggambarkan bagaimana ingatan kolektif orang Jepang tentang bencana. Salah satu bencana gempa terbesar dalam sejarah Jepang adalah gempa bumi Tohoku pada tanggal 11 Maret 2011 dengan magnitudo 9,1 yang memicu adanya gelombang tsunami.
Jika berbicara mengenai bagaimana antropologi memandang kebencanaan, kita bisa melihat pada bagaimana perilaku masyarakat yang berubah setelah terjadinya bencana. Adanya trauma yang hadir dan bentuk antisipasi yang tinggi terbangun di dalam masyarakat tersebut. Tulisan yang terkait dengan hal ini termasuk dalam pembahasan mengenai disaster culture.
Film Suzume ini erat kaitannya dengan mitologi yang ada di Jepang. Di dalam film tersebut, terdapat sosok makhluk yang terinspirasi dari Namazu atau Ōnamazu (大鯰) (dalam film disebut Mimizu) yang merupakan ‘dewa lele raksasa’ dalam mitologi Jepang yang dipercaya sebagai penyebab gempa bumi. Tetapi di sisi lain, ia juga disebut sebagai pembawa kemakmuran.
Dalam mitologi Jepang, terdapat dewa atau daimyojin bernama Kashima Daimyojin. Dia lalu meletakkan batu segel di atas kepala Namazu agar tidak bisa bergerak. Namun, sesekali Daimyojin terganggu, Namazu bergerak, dan bumi bergetar.
Salah satu tokoh dalam film ini, Shouta, merupakan perwujudan pasukan dari dewa tersebut yang memiliki tugas untuk menghalangi gempa bumi terjadi dengan menutup dan mengunci semua pintu yang memiliki akses terhadap dunia lain.