”Kalau ditanya, honorer itu penting untuk pelayanan publik. Karena di daerah, kalau tidak ada honorer, di beberapa sisi lumpuh pelayanan publik. Karena ASN minim,” ungkap Anas.
Guiding principle kedua adalah tidak ada penurunan pendapatan bagi mereka yang sekarang sedang bekerja sebagai honorer. Ketiga, tidak ada pembengkakan anggaran. Terakhir, pihaknya akan menerapkan prinsip keadilan sesuai aturan.
”Karena kita intensif mencari titik paling aman dari guiding principal tadi. Ini tidak mudah, tapi sudah mulai kelihatan arahnya,” terang Anas.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mendorong adanya revisi PP 49/ 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari PHK massal sekaligus memberikan kepastian kepada para honorer.
”Agar principal guidance yang disepakati oleh banyak pihak, termasuk masukan dari DPR, agar tidak ada PHK massal itu segera mendapatkan kepastian,” tuturnya. Keputusan tersebut juga akan jadi kado manis untuk Idul Fitri dari pemerintah bagi honorer di Indonesia.
Selain itu, rencana penghapusan honorer dinilainya bertentangan dengan visi presiden terkait UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Pasalnya, di beberapa lembaga, lebih dari 50 persen diisi oleh tenaga non-ASN. Misalnya Kementerian PUPR yang hampir seluruh balainya di Indonesia diisi honorer. ”Kalau kemudian kita hapuskan (honorer, Red) berdasar PP Nomor 49 Tahun 2018, visi presiden, termasuk Undang-Undang RPJPN kita, itu nggak jalan,” tuturnya.