Puluhan tahun berkecimpung di dunia politik hingga kegagalan dalam pemilihan legislatif tidak pernah menyurutkan semangat Lukman.
Semangat yang tidak pernah pudar itu tidak terlepas dari hasratnya yang terus ingin belajar dan berpikir maju ke depan.
“Kenapa saya suka berpartai, karena hobi saya berinteraksi dengan orang banyak. Suka bergaul. Tidak suka sepi. Karena saya mencoba dari semua dunia organisasi, hanya partai politik ini tempatnya bergaul dan banyak karakter, banyak dinamika, banyak info dan pengalaman. Dan saya mendapat banyak ilmu di sekitar situ,” terang Lukman.
“Padahal saya sebenarnya bisa jadi pegawai negeri. Saya tidak mau. Memang suka berorganisasi. Saya tidak kapok-kapok,” tambahnya.
Lukman tak menyangkal bahwa masa kecilnya diselimuti penderitaan. Kasih sayang kedua orang tua nyaris tak menyentuhnya.
Ia telah berstatus yatim piatu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sejak itu, ia diasuh oleh kakaknya di Kabupaten Takalar, Sulsel.
Sang kakak menerapkan pola didik ala ‘militer’. Mulai bangun tidur di pagi-pagi buta hingga malam hari, didikan kedisiplinan seolah tanpa celah.
Lukman mengisahkan setelah salat subuh dirinya sudah harus membersihkan rumah berikut halaman yang lumayan luas.
Ia juga diwajibkan mengambil air yang jaraknya berkilo-kilo meter dari tempat tinggal dengan memanggul dua ember melalui jalan menanjak. Terkadang sandal jepitnya putus di tengah jalan. Kadang ia merasa lelah dan ingin menyerah saja.
“Jadi, saat saya di masa kecil benar-benar penuh perjuangan. Tapi, ternyata hari ini saya mensyukuri itu. Saya jadi tahu akan arti sebuah kedisiplinan. Juga tidak sadari bahwa disitu karakter saya dibentuk. Saya bisa disiplin. Bisa lebih baik,” kenangnya lirih.