Di benak publik, Jokowi mestinya juga memiliki pemahaman yang sama sehingga memiliki suatu kesadaran untuk tidak memihak. Sebab, jika itu dilakukan, risikonya terlalu besar. Keutuhan bangsa dan negara ini yang dengan susah payah kita rawat, menjadi taruhannya.
Tetapi Jokowi tetap bergeming, seolah abai pada risiko itu. Mungkin para pengamat benar bahwa memang Jokowi tengah panik, tatkala melihat perkembangan elektabilitas P-Raka yang sebenarnya masih jauh dari Pilpres satu putaran. Kepanikan itulah yang membuatnya tak lagi berprilaku selayaknya sebagai seorang kepala negara, tapi lebih sebagai kepala keluarga.
Teringat sebuah akun TikTok yang mengambil analogi permainan catur. Jika raja sudah sampai turun tangan dan bergerak kesana-kemari, pertanda situasi sudah sangat genting. Analogi itu kurang lebih menggambarkan situasi Jokowi saat ini.
Situasi itu terkonfirmasi pada setiap kegiatan kampanye P-Raka dalam sepuluh hari terakhir. Jumlah massa yang datang tak mencerminkan sebagai pemuncak survei dan pemilik elektabilitas tertinggi, di atas 50%. Sebab massa yang datang, semula diperkirakan membludak, tetapi ternyata tidak.
Tengok, misalnya, kegiatan Gebyar Gemoy Paslon 02 di DBL Arena Surabaya pada Ahad, 28/01/2024 lalu, dilaporkan sepi oleh Optika,id. Padahal, menurut hampir semua Lembaga survei, elektabilitas P-Raka di Jawa Timur disebut paling tinggi. Ini yang penulis sebut sebagai paradoks sang pemuncak survei.
Boleh jadi karena kondisi paradoks itu yang membuat Jokowi merasa frustrasi, sehingga dengan sangat terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk mendatangkan massa kampanye dalam jumlah besar, demi menambal tingkat elektabilitas P-Raka yang sebenarnya tidak tinggi-tinggi amat.