Paradoks Elektabilitas Sang Pemuncak Survei

  • Bagikan

Tidak hanya itu, izin acara “desak Anies” di Jogyakarta, tiba-tiba dicabut oleh pihak berwenang setempat. Bus-bus yang dipersiapkan untuk mengangkut massa pendukung AMIN dari berbagai daerah untuk menghadiri kampanye terakhir di Jakarta International Stadium (JIS), disabotase. Ternyata, perlakuan yang kurang lebih sama, juga dialami Ganjar – Mahfud.

Jika memang yakin menang dengan satu putaran, maka, apa urgensinya Jokowi mencoba rujuk dengan Megawati, Ketum PDIP? Kendati rumor itu kemudian dibantah oleh pihak istana, namun publik lebih percaya pada podcast “Bocor Alus” sebagai sumber pertama. Sebab podcast tersebut diasuh oleh wartawan Tempo, dinilai lebih memiliki integritas.

Lagi pula, bantahan itu baru dilakukan setelah rumor itu menyeruak ke ruang publik, dan setelah upaya rujuk itu sendiri dipastikan gagal, karena tidak ditanggapi oleh Megawati. Maklum, meski Megawati seorang ibu yang pemaaf, namun tidak mudah baginya memaafkan hal-hal yang berbau pengkhianatan.

Upaya rujuk yang gagal itu, tampaknya sangat mempengaruhi kondisi psikologis Jokowi. Gelagatnya makin bertambah aneh semenjak itu. Bayangkan, tanpa adanya suatu prakondisi yang relevan mendahului, tiba-tiba menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak kepada salah satu Paslon Capres – Cawapres. Pertanda apa ini?

Tak pelak, publik pun sontak dibuat tersentak karena hal itu merupakan jurus pamungkas yang terlarang bagi seorang kepala negara menggunakannya. Sebab dalam pemahaman publik, sebagai seorang kepala negara, Jokowi bukan bapaknya Gibran, tetapi bapaknya seluruh rakyat Indonesia, sehingga terlarang baginya untuk memihak.

  • Bagikan