Ketua Formal, Amri menyebutkan, masyarakat yang hadir berdiskusi justru lahannya hampir 80% ada di Blok Tanamalia, seperti lahan milik Pak Chandra, Pak Ricky, pak Salwa, Uki, dan Mardang.
“Hampir 80% yang hadir itu punya lahan. Selebihnya orang yang terdampak soal Tanamalia. Karena jika Tanamalia dibuka, bukan hanya yang punya lahan yang terdampak, tapi seluruh masyarakat di Loeha Raya pasti ikut terdampak. Jika ada asumsi, masyarakat yang hadir tidak punya lahan. Maka, silakan telusuri orang-orang yang datang ke TAB kemarin. Kita bisa mempertanggungjawabkan kalau memang masyarakat yang punya lahan terdampak yang datang ke sana. Mereka yang bilang kami berbohong, silakan buktikan lewat foto-foto diskusi yang beredar,” ujarnya.
Rustam mengungkapkan, pihak anti tambang saat ini membangun bargaining agar PT Vale membuka ruang untuk berdialog dan mendengarkan berbagai perspektif.
“Saya mengajak semua pihak, mari kita buka ruang diskusi. Bersama, kita cari apa yang terbaik untuk masyarakat. Jangan sampai ada persepektif-perspektif golongan tertentu yang memperkeruh konflik tenurial di Tanamalia. Kita perlu berdiskusi agar PT Vale dan masyarakat berjalan beriringan membangun Loeha Raya,” ungkapnya.
Rustam menjelaskan, Formal dibentuk dan hadir bukan untuk kepentingan kelompok, tapi untuk menyuarakan kepentingan masyarakat secara luas di Loeha Raya.
“Kami ingin diskusi terbuka seperti ini bisa dilakukan lebih luas lagi dengan menghadirkan masyarakat, pemerintah, dan tentunya PT Vale. Makanya, kesempatan bertemu manajemen PT Vale kemarin dijadikan ajang untuk klarifikasi beberapa informasi yang simpang siur di luar sana,” katanya.