FAJAR.CO.ID, TAKALAR— DL (51) petani di Desa Towata, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar kini tak lagi menggarap lahan persawahannya, tanahnya sekitar 2 hektare telah dikuasai oleh perusahaan.
Kini ia menggarap sisa lahan milik keluarganya berupa areal persawahan yang ditanami padi merupakan sisa lahan warisan dari orang tuanya dulu. Hasilnya pun tak sebanding dengan perkebunan tebu yang ada di sekelilingnya. Hasilnya manis. Mereka pun ingin juga merasakan manisnya berkebun tebu, agar kesejahteraan ia dan masyarakat sekitar pun pendapatannya bisa meningkat juga.
Kehilangan lahannya itu membuat kehidupan mereka pun cukup berpengaruh. namun, prinsipnya daripada melawan, disiksa hingga dibunuh, terpaksa ia mundur.
“Kita dulu dipaksa, kita sebagai petani penggarap, siapa yang melawan dibawa pergi. Kalau melawan dulu dinaikkan di mobil dinas sekitar tahun 1983 oleh pihak perusahaan, camat dan mereka bawa aparat, yang menentang itu dibawa pergi kemudian sawahnya tetap digarap,” kata DL, seorang lelaki paruh baya.
DL adalah satu dari ribuan petani yang ada di 17 desa dan keluarahan di Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Kecamatan Polongbangkeng Selatan yang tanahnya dirampas sepihak oleh PTPN XIV, perusahaan perkebunan milik BUMN. Dulunya mereka berkebun sebelum lahannya itu diambil perusahaan, kini ia hanya menggarap lahan persawahannya tidak lagi lahan kebun yang biasa ditanami jagung dan wijen.
Sembari duduk di balai-balainya, DL hanya bisa berpangku tangan, berharap lahannya itu kembali, tatapannya kosong ke arah lahan persawahan yang ada di belakang rumahnya itu. Saat FAJAR berkunjung Jumat, 22 September itu, ia menceritakan pilunya kehidupan mereka pasca tanahnya dikuasi oleh perusahaan tanpa ada ganti rugi sepeser pun, seperti di desa lainnya.