Sembari menyeruput kopinya ia menceritakan pedihnya hidupnya penuh dengan ancaman selama puluhan tahun, setiap menanyakan status tanah milik orang tuanya yang kini dikuasi oleh perusahaan.
Baginya, pemerintah tidak berpihak dengan mereka. Enam tahun belakangan, hidupnya kian sulit, meski waktu 2017 ia dan petani lain masih diberi kesempatan untuk mengelola
lahannya, namun itu hanya berlangsung dua tahun saja, setelah itu sampai sekarang lahannya yang sekitar 2 hektare itu tak kunjung ada kejelasan lagi.
Memang Kabupaten Takalar dikenal sebagai salah satu penghasil gula di Sulawesi Selatan. Namun, ironi manisnya gula tak sebanding dengan kehidupan masyarakat yang hidup berdampingan dengan kebun-kebun tebu yang luasnya mencapai 6 ribu hektare itu, justru masyarakat hidup dengan penuh intimidasi berpuluh-puluh tahun lamanya.
Banyak kerabat mereka yang sudah pernah menjalani hukuman lantaran memperjuangkan tanahnya, sehingga harus mendekam di penjara tak sedikit juga yang terbunuh puluhan tahun silam itu. Akibat dari berdirinya sebuah perusahaan gula di Kabupaten Takalar tepatnya di Kecamatan Polongbangkeng Utara, pabrik gula milik
BUMN, yaitu PTPN XIV, hamparan lahan tebu sepanjang jalan menyambut penulis begitu memasuki wilayah kecamatan ini, aksi demonstrasi pun kerap terjadi hingga berujung konflik, itu demi Masyarakat mendapatkan kembali hak atas tanahnya yang diklaim oleh perusahaan dengan status Hak Guna Usaha (HGU) itu.
Bukan hanya pendapatan yang berkurang sejak masuknya perusahaan gula itu, ancaman pun silih berganti saat mencoba menanyakan status tanahnya yang sudah 41 tahun dikuasai oleh perusahaan perkebunan milik BUMN itu, yaitu PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV) Pabrik Gula (PG) Takalar menguasai seluas 6.650 hektare mencakup 17 desa dan kelurahan yang tersebar di Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Kecamatan Polongbangkeng Selatan.