Sebelum dikuasai oleh perusahaan, ia menceritakan lahannya yang sekitar 2 hektare itu dulunya dimanfaatkan oleh sanak keluarga dan orang tuanya untuk berkebun jagung, wijen, tebu, pohon mangga hingga pohon kelapa.
"Namun sejak diambil perusahaan kita tidak bisa lagi manfaatkan. Tidak bisa kita kelola apalagi ambil hasilnya. Hanya ancaman terus yang kami dapatkan, tidak sedikit orang di kampung ini yang pergi keluar merantau, ada yang ke Kalimantan, sampai ke Malaysia demk biaya hidup keluarganya karena sudah tidak ada lahan yang bisa digarap lagi di kampung ini," urainya.
Bahkan kini, untuk melintasi lahannya sendiri sudah dihantui rasa takut, sapi-sapi miliknya pun kerap jadi bulan-bulanan petugas untuk diangkut ke dalam perusahaan apabila kedapatan melintasi areal lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan.
"Jadi di pondasi itu (sambil menunjuk) kalau dilintasi, lewat sedikit bisa diangkut kita ke dalam (perusahaan untuk diadili) karena disini ada pengawasannya yang selalu datang memantau, bahkan pernah saya ada empat ekor sapi saya terpaksa saya putus talinya karena sudah mau dibawa sama petugasnya itu," ungkapnya.
Senada dengan itu, warga lainnya, DS (51) juga merasakan hal yang sama. Perempuan kelahiran Takalar ini tidak bisa berbuat banyak dan membantu suaminya untuk
bercocok tanam di areal persawahannya lantaran sudah dikuasai lahan miliknya oleh perusahaan.
"Takut orang disini bu, karena kalau ditanyakan lagi statusnya maka akan ada konflik lagi. Bisa-bisa diturunkan lagi Brimob dan kita takut," paparnya.