FAJAR.CO.ID - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak merespons revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang memberikan kewenangan untuk mengevaluasi pejabat. Ia menilai, aturan berlebihan itu bertentangan dengan undang-undang.
Menurutnya, jika terdapat pihak-pihak yang merasa keberatan dengan revisi tatib DPR dapat menggugat ke Mahkamah Agung (MA).
"Iya (bertentangan dengan UU). Hal itu yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan judicial review ke MA RI," kata Johanis Tanak kepada wartawan, Kamis (6/2).
Sebab, salah satu penting dalam revisi tatib DPR yang disahkan rapat paripurna, Selasa (4/2) memberikan kewenangan tambahan kepada DPR untuk mengevaluasi secara berkala, yang tidak mustahil berujung pada pencopotan atau pemberhentian terhadap pejabat dan pimpinan lembaga yang diajukan, disetujui atau diberikan pertimbangan oleh DPR.
Para pejabat itu bisa meliputi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Agung (MA), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), serta gubernur Bank Indonesia, dan dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Johanis menekankan, dari sudut pandang hukum administrasi negara, surat keputusan pemberhentian pejabat hanya dapat dilakukan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkat pejabat tersebut atau surat keputusan pengangkatan dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), berdasarkan gugatan yang diajukan oleh orang atau badan yang merasa kepentingannya dirugikan.