Bahkan penyakit tuan Puteri dari hari ke hari bertambah parah. Seluruh tubuhnya membengkak malahan dibeberapa bahagian badannya sudah terlihat luka-luka dan mengeluarkan nanah serta bau busuk.
Rakyat kedatuan Luwu pun sudah semakin gelisah dan bimbang, antara kecintaan kepada Datu dan ketidak senangannya terhadap keadaan tuan Puteri We Tenriola yang berpenyakit kulit dan dianggap sangat berbahaya itu.
Pada suatu hari dari hasil musyawarah rakyat, Datu Luwu pun mereka temui. Keinginan rakyat, agar We Tenriola, segera disingkirkan dari kedatuan Luwu. Diputuskan pula bahwa apabila Datu tidak menghiraukan permohonan rakyatnya, maka seluruh rakyat Kedatuan Luwu akan meninggalkan Kedatuan dan pindah ketempat lain ( malekke dapureng).
Datu Luwu pun menerima permohonan setelah menerima masukan dan penuh pertimbangan. Dengan muka sedih, dia mengatakan, Puteri tunggalnya akan meninggalkan kedatuan Luwu menuju tempat yang kita tidak diketahui sama ketahui.
Setelah semua persiapan pemberangkatan tuan Puteri dirampungkan, rakit raksasa dari bambu telah dibuat dan ditambatkan di muara sungai. Semua perlengkapan dan perhiasan sebagai seorang Puteri akan dibawa serta. Begitu pula semua inang dan dayang pengiringnya akan membawa serta semua perlengkapannya. Alat pertanian, alat pertukangan, alat-alat rumah tangga dari piring-piring sampai kelengkapan dapur, begitupun bahan makanan baik yang masak maupun yang mentah, tiada sedikit yang dibawanya.
Akhirnya setelah berlalu empat puluh hari empat puluh malam, sedikit demi sedikit keadaan duka di kedatuan mulai pulih kembali. Rombongan tuan putri pun terdampar di sebuah kampung yang tak memiliki nama.