Sebagaimana dengan pembangunan yang lain, pihak rumah sakit bersama tim pendamping terlebih dahulu membuat rencana kerja yang dituangkan dalam rencana kebutuhan belanja (RKB). RKB ini dihasilkan dari usulan para tenaga medis ke Direktur Utama RSUD Sayang Rakyat, baik dari perawat atau dokter terkait alat yang dibutuhkan. Baru kemudian diusulkan ke BPBD untuk direview oleh inspektorat.
Selain itu, pengadaan alat kesehatan (alkes), pihak rumah sakit melibatkan BKAD dalam proses pembayarannya. Setelah barang atau alatnya tiba langsung diujifungsikan. Tak sampai di situ, untuk proses pembayarannya pihak rumah sakit kembali meminta ke BKAD berdasarkan hasil peninjauan, barulah dikirim ke rekening rumah sakit. Jika sudah ada langsung ditransfer ke rekening penyedia barang, tentu dengan pendampingan ketat yang telah diminta.
"Mekanismenya agak rumit, tapi itulah yang harus kita lakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran. Kalau alkes rata rata katalog. Istilahnya katalog itu sudah ada harganya memang. Kemudian kalau tidak ada itu semua dimintai dengan kewajaran harga. Harus ada kewajaran harga dan harus dipertanggungjawabkan oleh penyedia," cetusnya.
Bahkan, pihak rumah sakit juga memberikan batas waktu hanya satu minggu kepada penyedia barang. Hal ini dikarenakan kondisi darurat dan demi terciptanya ketepatan dan kecepatan pembangunan IC RSUD Sayang Rakyat ini.
Sementara itu terkait dengan prinsip transparansi dan akuntabel pembangunan ini, Prof Rudi Djamaluddin yang kala itu sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel juga memastikan bahwa pembangunan IC RSUD Sayang Rakyat sangat matang dalam pelaksanaanya. "Itu pasti akuntabel, Pak Gubernur (Prof Nurdin Abdullah) selalu memesankan transparansi akuntabilitas, tidak ada tawar menawar dalam pelaksanaannya," tutur Pj Wali Kota Makassar ini.