Tradisi Kebaharian Masyarakat Sulawesi Selatan

  • Bagikan

Setelah melanjutkan berbagai rintangan atau hambatan di laut lepas, maka sampailah Saweringading dengan perahunya di pantai pelabuhan tanah Cina. Dengan menyamar sebagai seorang pedagang, Sawerigading sempat bertemu pandang dengan We' Cudai. Pada mulanya lamaran Sawerigading dengan senang hati diterima, tetapi lantaran ulah dari dayang-dayang We' Cudai sendiri, maka akhirnya We' Cudai menolak lamaran Sawerigading dan tak mau kawin dengannya. Karena lamarannya ditolak dengan sendirinya Sawerigading merasa tersinggung, yang mengakibatkan peperangan antara Sawerigading dengan Opunna Cina (ayah We' Cudai). Peperangan ini akhirnya dimenangkan oleh Sawerigading, maka dengan sendirinya perkawinan antara Sawerigading dengan We' Cudai sudah dapat terlaksana. Maka perkawinanpun dilakukan secara besar-besaran.

Setelah sekian lama menetap di tanah Cina, tergugalah hati Sawerigading untuk kembali ke tanah asalnya, tanpa mengingat sumpahnya yang penah diucapkan dahulu sebelum berangkat menuju ke tanah Cina.

Dalam perjalanan kembali ke tanah asalnya, Sawerigading bersama isterinya dan perahu yang ditumpangi pecah dan akhirnya terdampar di tiga kampung, yaitu:

  1. Di Ara terdampar seluruh papan serta lunas perahunya;
  2. Di Bira terdampar tali-temali dan layar perahunya;
  3. Di Lemo-lemo terdampar sotting atau lunas bagian belakang perahunya.

Ketiga daerah tersebut, sekarang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bulukumba. Konon itulah sebabnya sehingga orang Ara, Bira dan Lemo-lemo pandai membuat perahu dan menjadi pelaut ulung sejak dahulu kala, sehingga muncul pula pepatah orang Bugis-Makassar yang berbunyi sebagai berikut:

"Panre patangnga'na Bira,

Pasingkolo Tu' Araiya

Pabingkung Tu' Lemo-Lemoa". (BP)

  • Bagikan

Exit mobile version