Oleh: Hadisaputra
(Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unismuh Makassar)
Sekolah telah menjadi stadium pertarungan para gladiator. Ada pertarungan antar siswa, ada pula guru memukul siswa. Kini, ada orang tua siswa memukul guru. Spiral kekerasan ini merupakan salah satu wujud disrupsi di dunia Pendidikan.
Fajar Online (https://sulsel.fajar.co.id/2022/02/08/lukai-profesi-pendidik-komisi-e-dprd-sulsel-kecam-penganiayaan-guru-di-sidrap) melansir kecaman yang dilontarkan Komisi E DPRD Sulsel terhadap kasus pemukulan guru di Sidrap dan Jeneponto beberapa waktu lalu. Dalam kedua kasus itu, keluarga siswa diduga terlibat dalam melakukan tindakan kekerasan tersebut. Para pelaku mendaku bahwa tindakan mereka merupakan reaksi terhadap tindakan yang dilakukan oleh guru terhadap anak mereka.
Jika disederhanakan, kronologinya diawali dengan siswa melakukan kenakalan (baca: melanggar norma dan nilai yang diajarkan di sekolah). Guru memberi hukuman, dengan memukul siswa. Orang tua siswa tidak terima dengan perlakukan terhadap anaknya, lalu bermain hakim sendiri, dengan memukul guru. Lalu guru melaporkan ke polisi, dan para tokoh masyarakat mengecam tindakan kekerasan tersebut, dan seterusnya.
Kira-kira begitulah lingkaran kekerasan yang terjadi dalam kasus tersebut. Setiap kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan, hanya akan melahirkan kekerasan baru. Itulah yang disebut Dom Helder Camara, sebagai spiral kekerasan.
Spiral kekerasan ini kadang juga dilestarikan oleh pandangan standar ganda dalam memandang kekerasan di sekolah. Sebut saja, kekerasan yang dilakukan oleh guru, kadang sayup-sayup dibenarkan, dengan alasan bagian dari strategi mendidik. Menurut saya, ini juga bagian dari akar masalah yang melanggengkan tradisi kekerasan di sekolah.