"Nah, distulah masalahnya. Jika izin tambang ini berasal dari pemerintah provinsi Sulawesi Selatan, maka pertanyaannya; seberapa ketat pengawasan yang dilakukan sebelum dan setelah izin dikeluarkan? Apakah sudah ada evaluasi terbaru terkait izin lingkungan dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari tambang ini? Jika memang ada potensi pelanggaran atau dampak negatif yang signifikan, mengapa masih beroperasi?" tutur Mansyur S. Rachmat, seorang pegiat lingkungan.
Menurut Mansyur, kasus ini bukan sekadar soal izin, tetapi juga tentang bagaimana perusahaan tambang beroperasi tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat sekitar.
Mansyur pun curiga, perusahaan yang beroperasi tersebut tidak memiliki izin lengkap sebagaimana yang seharusnya mereka kantongi, "Soal izin AMDAL itu, hanyalah satu dari sekian banyak izin yang mesti ia miliki," tegas pria eks aktivis mahasiswa ini.
Mansyur menegaskan pihak terkait tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah maraknya aktivitas tambang galian C yang semakin liar. Paling tidak, mempertanyakan apakah pengelolanya sudah memiliki legalitas lengkap dan sesuai dengan ketentuan terbaru atau tidak.
Misalnya, Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Operasi Produksi, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Izin Lingkungan, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (jika beroperasi di kawasan hutan), Rencana Reklamasi dan Pascatambang dan Izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sesuai skala operasi.
Dan, yang lebih penting lagi, sejauh mana pengelola mengutamakan keselamatan publik, mengingat lokasi tambang yang berada di dekat pemukiman dan jalan utama, apakah ada jaminan keamanan bagi warga dan pengguna jalan?