Mujur sekali karena tidak jauh dari sungai, tepatnya di bawah pohon besar yang kemudian dikenal namanya pohon Wajo, menjadi lokasi pilihan mereka. Di lokasi inilah mereka membuat perkampungan. Pohon dan bambu ditebang untuk dijadikan rumah beratap daun rumbia sebagai tempat tinggal mereka. Di tengah-tengah lokasi perumahan yang mereka bangun itu, di bangun pula sebuah rumah besar untuk tempat tinggal tuan Puteri We Tenriola. Pengiringnya menempati rumah yang ada disekeliling rumah tuan Puteri.
Mengenai keadaan penyakit tuan Puteri We Tenriola, mereka merawatnya dengan ramuan obat yang mereka buat sendiri dari daun-daun kayu yang tumbuh di hutan tidak jauh dari perkampungan mereka. Namun segala upaya itu tidak menyembuhkan penyakit sang Puteri, tetapi juga tidak makin parah.
Hingga pada suatu hari, ketika para penghuni perkampungan itu sedang pergi bekerja di sawah dan ladang mereka, tiba-tiba datanglah seekor kerbau balar- berwarna dan berbulu putih, memakan padi yang mereka jemur. Ketika itu tuan Puteri We Tenriola yang kebetulan menjenguk ke luar jendela, menyaksikan apa yang terjadi. Terlihat olehnya kerbau balar sedang memakan padi yang dijemur di depan rumahnya. Ia berteriak sekuat tenaga mengusir kerbau itu, akan tetapi kerbau itu tak beranjak pergi dari tempatnya, bergeser pun tidak.
Tuan Puteri dengan segala tenaga dan keberanian yang ada padanya, turun untuk menghalau kerbau itu. Tetapi, kerbau yang melihat kedatangan tuan Puteri, malah tidak lari, melainkan menyongsong kedatangan tuan sang Puteri. Tuan Puteri pun berteriak lari ketakutan.