Ada juga kejadian di mana lembar-lembar manuskrip yang sudah difoto, gambarnya tiba-tiba saja lenyap saat akan diproses di komputer. Padahal untuk gambar yang lain, bisa dibaca oleh komputer yang sama. Untuk mengatasi kejadian seperti ini, Prof Kadir sering mengirimkan pahala ayat-ayat tertentu untuk ulama yang membuat manuskrip itu. Setelah itu, gambar-gambar manuskrip sudah bisa diproses secara digital.
Selain itu, pihak keluarga juga seringkali memberikan syarat-syarat di luar nalar jika ingin membuka manuskrip leluhurnya. Paling sering, kata Prof Kadir, potong kambing, hingga syarat-syarat lainnya yang dianggap sakral oleh ahli waris.
Untuk kejadian seperti itu, Prof Abdul Kadir sering mengingatkan peneliti muda agar tidak mudah menyerah mendapatkan manuskrip atau lektur-lektur kuno. Jika tantangannya berupa hal mistis, jalan yang bisa ditempuh yang sesuai juga dengan syariat Islam. Karena tidak mungkin manuskrip tarekat, syaratnya di luar syariat.
"Seperti mengirimkan Al Fatihah atau Ayatul Kursi untuk ulama pengarangnya, itu kan tidak bertentangan dengan syariat. Malah bagus sebagai penghormatan. Istilahnya hadiah atas ilmu yang beliau ajarkan," tutupnya. (aha)